Perlindungan Kelompok Rentan, Desa Inklusif Dimulai Tahun Ini

0
653

BR/Humker/KDPDTT/VI/2020/31

Yogyakarta – Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Kagama Ganjar Pranowo mengatakan, Kagama siap dengan Percontohan Desa Inklusif. Ini diungkapkan oleh Ganjar dalam Webinar bertajuk Desa Inklusif: Basis Solidaritas Bangsa.

Gubernur Jawa Tengah ini mengatakan, spirit solidaritas dan kesetaraan bisa dimulai dari desa dengan memberi ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan.

Kelompok rentan dan marjinal umumnya adalah populasi yang tersembunyi karena belum terdata dengan akurat. Masih banyak keluarga yang menyembunyikan anaknya yang difabel dengan alasan malu.

“Itu tidak boleh lagi terjadi. Semua warga memiliki hak yang sama!” tegas Ganjar sembari mengajak seluruh anggota Kagama agar menjadi champion dalam percontohan Desa Inklusif.

Sementara itu, Sekjen Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), Anwar Sanusi menyatakan, pada tataran regulasi, penyelenggaraan desa yang inklusif telah dimandatkan melalui UU no 6 tahun 2014 tentang Desa yang menekankan pentingnya perlindungan kelompok rentan dan marjinal seperti perempuan, lansia, anak, masyarakat adat, penghayat, difabel dan lain-lain.

“Kita akan mulai tahun ini, dimulai dengan Desa-desa percontohan yang bisa direplikasi oleh Desa lain” ujar alumni Fisipol UGM ini.

Sejalan dengan itu, Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendesa PDTT Bito Wikantosa, mengatakan pelaksanaan Desa Inklusif bisa ditempuh melalui tiga jalan yaitu jalan kebudayaan, jalan demokrasi, dan jalan pembangunan partisipatif.

Jalan kebudayaan memastikan nilai-nilai inklusi sosial menjadi perspektif dan perilaku kolektif warga, jalan demokrasi memastikan perluasan partisipasi kelompok rentan dan marjinal, dan jalan pembangunan partisipatif memastikan keterlibatan kelompok tersebut dalam semua tahapan pembangunan dari perencanaan hingga evaluasi.

“Penggalian nilai-nilai tradisi sangat penting untuk mengembalikan semangat bela rasa sosial,” kata Bito.

Bito menambahkan, siasat bela rasa ini diadopsi dari Program Peduli yang telah berhasil memfasilitasi lahirnya Desa-desa inklusif.

Andi Wahyuli, Kepala Desa Mallari, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan mengatakan bahwa penerapan inklusi dimulai dari pendataan. Ia mendatangi satu-persatu keluarga memastikan bahwa semua warga telah terdata. Andi Wahyuli kemudian mengundang kelompok rentan hadir dalam pertemuan, mengidentifikasi kebutuhan dan hak yang harus diterima sebagaimana warga lainnya.

Andi Wahyuli juga mengalokasikan dana khusus untuk pelayanan yang inklusif misalnya dengan merenovasi fasilitas umum menjadi aksesibel, program pelatihan bagi kelompok difabel, menyediakan lapangan pekerjaan, dan lain-lain.

“Ada warga kami, difabel, yang ketika kami didatangi dulu lari ketakukan, sekarang berhasil menjadi kader kesehatan”, kata Andi Wahyuli bangga.

Sementara itu Sosiolog UGM, Arie Sujito mengingatkan bahwa sesungguhnya kita tak perlu cemas karena masih banyak praktek solidaritas yang bertahan di desa. Masyarakat harus belajar dari praktek solidaritas tersebut untuk membangun karakter bangsa yang inklusif, membawa pesan keadilan, kesetaraan dan kemartabatan semua warga.

“Praktek solidaritas sosial yang nyata itu ada di Desa. Karakter bangsa yang inklusif harus dibangun dari bawah. Desa Inklusif harus meluas”, pungkasnya.

Webinar ini diikuti oleh 800 peserta yang berasal dari Aceh hingga Papua, dan terselenggara atas kerja sama Kagama dan Kemendesa PDTT dan didukung oleh UGM, Pemerintah Australia, TAF dan Kemitraan.

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi Yasir Sani pada
Yasir_sani@yahoo.com dan HP 081316667077.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here